Ini pertama kalinya, pertama kali saya menulis unek-unek sekaligus mengeritik pemerintah. Awalnya saya sama sekali tidak mau untuk menulis tulisan yang menurut saya sangat sensirif, karena harus menggunjing ‘orang lain’. Teman saya yang membuka pikira saya menulis betapa bobroknya semua ini [inspired by his experience]. Saya gerah mendengar orang-orang ribut sambil mengajak orang lain untuk terus-terusan mengeritik pemerintah. Yah, walaupun kritik juga salah satu cara untuk membangun. Dan, walaupun sudah terjadi demonstrasi besar-besaran perubahan juga belum terasa. Saya percaya mereka yang ada di sana pasti ada yang berpikiran waras untuk melakukan yang terbaik untuk negeri [jangan sampai kejadian di tahun ’98 terulang].
Pertama, wajar saja kalo banyak orang cerdas yang prefer buat kerja di perusahaan asing atau bekerja di luar negeri, karena mereka akan lebih dihargai disana. Bahkan saya pun sempat bercita-cita bekerja di perusahaan asing juga, namun saya tersadar kalo semua orang berfikiran seperti saya siapa yang akan memajukan negeri yang sedang kacau ini. Dan sekarang, keinginan saya itu kembali lagi karena akhir-akhir ini saya sering mendengar keluhan bagaimana sistem di Indonesia yang membuat saya malas berusan dengan segala yang ada di dalamnya. Mungkin bekerja di luar akan lebih menyenangkan, atau kalo perlu mengganti kewarganegaraan juga, humm.
Kedua, kebohongan pemerintah jaman dulu, saat pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun image bahwa pemerintahan yang sekarang “berhasil ”. Perekonomian yang sebenarnya sedang sangat kacau dikatakan bahwa mengalami kenaikan sekian persen, hueek. Beserta kebohongan lainnya.
Ketiga, masalah birokrasi. Untuk mengurus KTP saja susahnya bukan main, untungnya saya waktu itu dalam keadaan sangat mudah, jujur saya ngurus sendiri. Trinity, dalam buku The Naked Traveler, pernah bercerita betapa susahnya ia mengurus KTP, harus bolak-balik dan di oper sana sini. Lain lagi cerita mengurus passport di kantor imigrasi. Terang-terangan disana tertulis
“kepada para pemohon dokumen keimigrasian pada kantor imigrasi kelas II Kar*wang untuk TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN CALO lansung lewat loket dan bayarlah sesuai ketentuan yang berlaku, berhubungan dengan calo akan merugikan diri anda sendiri”
dan terang-terangan pula calonya adalah orang dalam sendiri, saya tertawa mendengar cerita teman saya, sungguh parah dan memalukan. Calo ada karena sistem birokrasi mereka yang buruk, lambat dan ribet. Wajar kalo orang dengan tingkat urgent dan keuangan yang tinggi lebih memilih untuk menggunakan calo. See? Bagaimana masyarakat mau percaya pemerintah? Untungnya lagi saya tidak pernah bermasalah dengan hal ini, membuat passport sendiri dalam waktu dua hari, yang nikin lama cuma ngantri nya. Tapi kalo dipikir-pikir apa ya yang membuat kita rugi berhubungan dengan calo kalo duit kita banyak dan kebutuhan sedang mendesak? Kayanya ga ada.
So, what we have to do to make those things better? Sebagai kaum intelektual, *underconstraction, COMINGSOON*