Melakukan perjalanan jauh
dengan kendaraan umum tanpa teman dan perut keroncongan sungguh sesuatu yang
tidak baik. Karena itu, memikirkan makanan
apa ya yang kira-kira enak dimakan saat diperjalanan adalah hal yang
menyenangkan. Tepat saat itu, di angkot terakhir setelah jalan-nangkot-jalan-ngangkot
dan jalan lagi saya menemukan sesuatu yang indah - ditambah cuaca angina semilir
bau hujan akan datang - untuk mengisi perut.
Disana ada kedai bakso
terkenal di Tembalang, sebut saja Bakso Pak Hadi. Saya langsung meminta mas-mas
di sana dengan wajah manis manja lapar “Mas, bakso satu dibungkus mie nya yang
putih aja”. Bakso diterima. Perjalanan dilanjutkan lagi dengan angkot, selama
perjalanan itu pula sesekali saya pegangi hangatnya bungkus bakso, aah
nikmatnya sudah terasa sejak bungkus itu dipegang. Sampai di kos, dengan sigap
saya ambil mangkok dan sendok, saya keluarkan bungkus bakso dari bungkus plastik
kresek, saya pegang lagi, sekali lagi, dan saya amati seksama. Hah, baksonya gak ada! Cuma mie putih dan
sawi.
Saya ambil motor dan melaju
lagi ke Bakso Pak Hadi. Lagi-lagi saya protes dengan wajah manis manja perut cekung
ke dalam “Mas, tadi saya mbungkus bakso tapi gak ada baksonya” Sontak mereka
(ada lima mas-mas) senyum-senyum minta diguyur, satu orang melayani pesanan
saya, satu lagi duduk di samping berusaha menghibur.
Mas: “Hehee udah sampe rumah tadi ya mbak?”
Saya: “Udah mas, udah ambil
mangkok malahan”
Mas: “Hehe, siapa tadi mbak
yang bikin? Yang itu ya mbak? Apa yang itu? Yang itu? Bukan saya kan
mbak?”
Saya: “Gak tau mas, saya
lupa, saya laper.”
Dan begitulah, mas-mas di
sana saling tuduh dan saling tanya siapa tersangkanya, kami sama-sama melupakan kejadian
detik-detik dimana kuah bakso bungkus sampai di tangan saya. Yang pasti mas-mas
di sana (termasuk tukang parkir) senyum sumringah bahagia karna saya beli bakso
tanpa bakso. Huh! Untung enak.