Hari ibu belum dekat, ulang
tahun ibu pun begitu. Tapi saat ini saya memikirkan nama itu. Kenapa baru satu kalimat sudah mellow begini?
Saya pernah membuat ibu
menangis. Tidak ingat berapa kali. Tapi cerita yang paling saya ingat adalah cerita
sekitar empat tahunan yang lalu ketika saya masih di Jatinangor. Saat itu, pertama kalinya
saya berada jauh dari ibu, dan saya anti ngutang.
Seperti biasanya, hari-hari
saya dibantu oleh keuangan bulanan yang harus saya kelola sendiri tanpa bantuan
siapapun, kecuali bantuan ibu yang selalu menyalurkannya setiap bulan. Masalah
pun terjadi karena saat itu saya tidak bisa memanage uang dengan baik, alhasil
saya tidak bisa menabung, uang bulanan selalu ‘pas’ habis di akhir bulan.
Masalah datang saat ibu
telat sehari mengirimkan uang bulanan, saya uring-uringan di kamar, lebih
tepatnya saya kehausan. Di kos tidak ada orang, saya bingung mau minta minum ke
mana, saya haus. Saya sudah mengingatkan ibu untuk mengirimi hari itu, saya
pikir dengan segera ibu akan mengirimkan. Siang harinya, segera saya pergi ke
ATM yang berada di dalam mall yang letaknya sekitar 30 meter dari kos, dengan
harapan setelah dikirimi uang, saya bisa langsung sekalian membeli minum.
Berkali-kali saya
berkeliling mall lalu mengecek ATM, berkeliling lagi lalu mengecek ATM lagi,
begitu seterusnya. Tapi kiriman tak kunjung datang, saya memutuskan berkeliling
sekali lagi dan mengecek ATM sekali lagi, tetap saja sisa saldo tidak bisa
diambil. Saya semakin kehausan, dehidrasi, saya tidak kuat, saya lemas. Akhirnya
saya putuskan untuk menelpon ibu.
“Ma, udah dikirim?”
“Belum, nak. Mama lagi
riweuh, nanti ya.”
“Ma, aku haus.. Dari tadi
pagi belum minum..”
“Ya ampun, kenapa ga minta temen dulu?
“Ga ada orang di kos..”
Sektika ibu menangis “Kenapa
ga bilang? Mama kirim sekarang ya. Tunggu, mama lari ke ATM.”
“Makasi ma, (maaf).”
Semenjak
saat itu, setiap saya haus dan lapar, saya tidak segan untuk ngutang dulu.