Semarang, 18 Desember 2013.
Hari itu tidak ada teman yang bisa menemani saya menonton di Bioskop XXI
Paragon, jadi saya putuskan untuk pergi sendirian saja. Dan karena
ketidaktahuan saya harus bertindak seperti apa untuk membantu teman-teman yang
memiliki kekurangan fisik (disabilitas), lagi-lagi saya putuskan untuk menulis dulu
saja, semoga tulisan saya bisa sedikit membantu.
Saya sungguh tergugah melihat teman-teman disabilitas
yang punya kemauan keras untuk bisa diterima di masyarakat (karna kenyataannya
banyak dari mereka yang mendapat perlakuan berbeda), apalagi semenjak
kedatangan saya ke Sahabat Mata untuk bertemu dengan Pak Basuki.
Sebelumnya, saya ceritakan
dulu apa itu SAMA (copy-paste dari brosur)
SAMA adalah program yang memberikan ruang dan peluang kepada penyandang disabilitas untuk menyuarakan persoalan dengan cara pandangnaya melalui video berbasis komunitas (video diary).
Melalui proses kreatif yang dilakukan secara mandiri, dan diharapkan dapat berkelanjutan ini, penyandang disabilitas dapat menyampaikan aspirasi mengenai ruang, peluang, dan perlakuan yang sama dan adil kepada masyarakat, khususnya bagi pengambil keputusan.
Lokakarya SAMA melibatkan 19 peserta penyandang disabilitas penglihatan, pendengaran, dan fisik untuk membuat video kampanyenya secara pastisipatif. Dalam SAMA, 22 peserta, termasuk 3 peserta non disabilitas, diajak untuk melakukan riset atasa persoalan, menulis, mengambil gambar (shooting) hingga editing dengan difasilitasi oleh para mentor dan fasilitator dari berbagai latar belakang – periset, penulis, fasilitator komunitas hingga dengan pekerja film.
Setelah pemutaran video
selesai, diadakan sesi diskusi, teman-teman disabilitas yang ikut andil dalam
pembuatan video ini menceritakan proses pembutannya. Seru sekali melihatnya, pertama
kalinya bagi saya melihat secara langsung teman-teman dengan disabilitas yang
berbeda ada di dalam satu ruangan, dan yang paling saya suka adalah melihat
sign language interpreter, semenjak membaca buku Totto Chan saya ingin sekali
mempelajari sign language. Seru rasanya bisa berbicara tidak dengan mengeluarkan
suara. Yang tidak terbayang adalah saat teman-teman disabilitas ini berkomunikasi
satu sama lain, bagaimana coba? Penyandang disabilitas pendengaran harus
memakai bahasa isyarat untuk berkomunikasi, sedangkan disabilitas penglihatan
tidak bisa melihat bahasa isyaratnya. Ternyata mereka melakukannya via SMS,
disabilitas penglihatan terbantu dengan adanya screen reader di handphone. Wow!
Pembagian job dalam proses
pembuatan menyesuaikan kepada teman-teman disabilitas. Tunanetra mengendalikan
audio, tuna rungu dan tuna wicara mengendalikan kamera, masuk akal bukan? Tapi
ada satu orang, Jejen seorang tuna netra, ingin sekali mengendalikan kamera,
dia yakin bisa melakukan, dan akhirnya ia pun dipercaya sebagai cameramen.
Kenyatannya, dia hobi sekali memfoto dan merekam sesuatu lewat handphone, lalu menguploadnya
di you tube. “Pengukuran suatu objek dapat dilakukan dengan suara”, kata Jejen.
***
Ada dua video yang masing-masing berdurasi kurang lebih 15 menit. Video pertama Mana Aksesku? memperlihatkan teman-teman disabilitas yang belum bisa menikmati akses public yang memadai. Salah satu dari mereka menceritakan pengalamannya saat berjalan dan ia tidak mengetahui saat itu ada galian yang mengakibatkan ia hampir saja terjatuh masuk kedalamnya karena tidak ada tanda apapun yang ia ketahui untuk membantu melewatinya. Atau saat disabilitas fisik kesulitan menaiki tangga, ia berjuang berjalan dengan kursi roda atau tongkat, namun saat mencapai tangga mereka bertatih-tatih berusaha untuk menaikinya.
Yang menarik saat film ini
diputar, ternyata ada satu dari mereka – Puti Irra Puspasari dengan disabilitas
pendengaran – adalah seorang arsitek, yang sempat mengikuti sayembara desain
halte busway, ia bertanya ke teman dengan disabilitas fisik bagaimana keadaan
halte busway yang sekarang. Jelas mereka menjawab trap-nya terlalu tinggi,
sulit saat menaikinya. Sang arsitek berkata dengan sign language-nya “saya tahu
itu, saya sudah memikirkannya, tapi desain saya kalah”. Mereka semua iri dengan
fasilitas yang disediakan pemerintah untuk disabilitas yang ada di luar negeri.
Video kedua berjudul Job (UN) Fair. Video ini menunjukkan
saat seorang disabilitas penglihatan mengikuti job fair, ia kesulitan bukan
main saat berada di sana, tidak satupun di video itu menunjukkan keantusiasan
perusahaan untuk merekrut disabilitas, tuntutan pekerjaan tidak memungkinkan
untuk disabilitas dan peluang di hire sangat kurang sekali. Padahal Menurut UU
Republik Indonesia No. 14 Tahun 1997, 1 persen dari 100 karyawan yang dimiliki
oleh perusahaan Negara maupun swasta haruslah penyandang disabilitas. Di lain
sisi, video ini juga menunjukkan teman-teman disabilitas yang berhasil bekerja
di perusahaan. Di sesi diskusi, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja mengatakan
bahwa di Jepang hingga saat ini rutin melakukan job fair khusus untuk
disabilitas. Sehingga job fair menjadi benar-benar fair.
Salah satu (mungkin)
supervisor saat ditanyai bagaimana disabilitas saat bekerja di sana, ia
mengatakan mereka lebih serius, fokus, dan tidak main-main saat bekerja. Sekali
instruksi langsung dikerjakan, sehingga produktifitas mereka lebih tinggi.
Pernyataan menarik dari salah satu disabilitas penglihatan yang kalau tidak
salah ia juga seorang announcer “Tuna netra bukan cuma mijit dan main music
aja, ada yang jadi penulis, dosen, dll.”
Saya melihat banyak sekali
potensi yang dimiliki teman-teman disabilitas yang tidak dimiliki non
disabilitas ini. Semoga suatu hari nanti, di saat kita sudah menjadi bagian
dari pengambil keputusan, kita bisa melakukan sesuatu terhadap aspirasi yang
mereka sampaikan di dalam video ini.
Kebutuhan setiap disabilitas
memang berbeda, tapi jangan jadikan sebagai kendala, lihatlah sebagai tantangan.