Tersesat? Bukan tersesat
sepertinya, saya lebih menyebutnya sebagai sisi lain perjalanan spiritual. Disebut
sebagai sisi lain karena yang saya alami saat itu bukanlah keyakinan yang
seharusnya saya yakini sebagai suatu pedoman hidup.
Sumber Gambar |
Tidak sampai satu tahun yang
lalu, saya menemukan keberagaman manusia dengan berbagai ajarannya. Teman yang
belum saya kenal lama adalah seorang agnostik kalau tidak salah, ia menyakini
bahwa semua ajaran agama adalah benar adanya, semuanya mengajarkan kebaikan. Pertama
kali, saya melihat ia berdoa layaknya muslim, dan di akhir ia berdoa layaknya
kristiani. Agak aneh, tapi saya tertarik, dan akhirnya bertanya ini itu. Teman saya
ini bergabung dengan komunitas sesuai keyakinannya, mempelajari Al Quran,
Injil, Weda, Tripitaka, dsb. Saya sempat terbawa dalam pemikiran ini, untungnya
tidak lama. Beruntungnya lagi, saya masih menjalankan sholat lima waktu. Saat itu
saya hanya sambil berfikir; tidak ada agama yang mengajarkan keburukan,
semuanya punya tujuan baik, saya ini membawa agama keturunan.
Sampai suatu ketika saya
menemukan buku yang ditulis seorang biksu jenaka, Ajahn Brahm, buku unik judulnya
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya.
Ada empat series, saya punya semuanya! Mungkin kalau ada yang pernah membaca
buku Chicken Soup, ya seperti itulah bentuknya, kumpulan-kumpulan cerita
kehidupan pengembangan diri, tapi uniknya buku ini dikemas secara apik baik
dari segi cover, gaya bahasa yang lucu, dan ah semuanya bagus. Si Cacing ini merupakan
karakter yang diibaratkan sebagai seorang manusia, sedangkan kotoran
kesayangannya adalah dunia yang fana ini. Cacing asyik berkubang dalam dunia
gemerlap.
Edisi Buku 3 dan 4 "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" Dokumentasi Pribadi |
Ajahn Brahm adalah biksu
fenomenal haha, berikut biografi singkatAjahn Brahm yang saya resume dari buku Si Cacing. Ajahn Brahmavamso Mahathera, atau dikenal dengan Ajahn Brahm dilahirkan
dengan nama Peter Betts di London, Inggris, 7 Agustus 1951. Ia berasal dari
latar belakang keluarga buruh dengan pendapatan pas-pasan. Sejak bersekolah,
Ajahn Brahm kecil sudah dikenal pintar dan selalu mendapat beasiswa, hingga di
sekolah menengah atas [kalo tidak salah], uang beasiswanya ia belikan buku-buku
agama, berbagai jenis agama, karena Ajahn Brahm yakin ia memerlukan agama
sebagai landasan hidupnya. Setelah banyak referensi dibaca, akhirnya Ajahn Brahm memutuskan untuk menjadi Buddhist. Setelah lulus SMA, lagi-lagi Ajahan Brahm
mendapatkan beasiswa untuk belajar Fisika Teori di Cambridge University.
Setelah lulus, ia mengajar di SMU selama satu tahun sebelum pergi ke Thailand
untuk menjadi biksu dan berlatih di bawah bimbingan Ajahn Chah Bodhinyana
Mahathera selama sembilan tahun. Semenjak menempuh pendidikan sebagai biksu
yang penuh tantangan dan pengalaman, akhirnya Ajahn Brahm pergi ke Australia
dan membangun wihara bersama beberapa temannya, menumpukkan bata dengan tangan
mereka sendiri.
108 kisah di tiap-tiap bukunya membuat saya terlena [apa bahasa
yang enak ya?], intinya kebahagiaan dalam hidup, hanya membaca kisahnya saya
jadi ikut bahagia. Saya pun sempat berfikir, Buddha adalah agama yang indah dan
menenangkan. Tapi di buku terakhir “Horeee! Guru Si Cacing Datang” yang
berisikan catatan perjalanan Ajahn Brahm keliling Indonesia, menuju halaman
terakhir ada pernyataan yang menyatakan bahwa Buddhist tidak percaya dengan
Tuhan Sang Pencipta, Buddhist hanya percaya pada Dewa, pengecualian pada Dewa Yang Menciptakan. Saya kecewa saat itu, tapi saya tetap ingin menerapkan kebiasaan yang
dilakukan Ajahn Brahm untuk melepaskan beban; meditasi. Saya mencari tahu dan
membeli buku meditasi yang ditulis biksu ini juga, tapi entah mengapa gairah
membaca di halaman-halaman awal pun tidak ada, apa karena penerbit dan
penerjemahnya beda? Mungkin ya. Gaya bahasanya jadi berubah, padahal sebelumnya sosok Ajahn Brahm terlihat humoris dibuku sebelumnya. Sekedar tahu saja, kalau penerbit buku Si
Cacing ini adalah Awareness Publication, pada logonya jelas sekali
menggambarkan mata satu di dalam segitiga, dan penerbit ini pernah menerbitkan
buku dengan judul Illuminata yang berarti pencerahan. Dan karena logo inilah saya
tergerak untuk membaca dan membeli buku Ajahn Brahm. Penasaran. Ada yang salah dengan mata satu atau ilumintati?
Sewaktu sedang giat-giatnya membeli buku-buku ajaran Buddha ini,
saya tersentak dengan pertanyaan dan pernyataan kakak saya “Lo udah baca buku
biografi Nabi Muhammad? Bagus itu. Baca buku Islam dulu, dalemin, baru lo baca
buku-buku kaya gitu!” Dan tetiba saya juga teringat pernah ada seseorang yang
memberikan buku 100 Pesan Nabi Untuk Wanita, dan buku yang ibu saya pernah
berikan mengenai Islam. Bagaimana bisa? Buku wajibnya malah gak kebaca. Kenapa saya
gak baca itu semua dulu? Padahal membaca Al Quran dan terjemahannya juga
menentramkan. Masalah meditasi? Saya rasa sholat bisa dijadikan meditasi,
karena unsur melepas dan berserah juga ada didalamnya. Apa yang salah pada diri
saya kemaren? Masalah semua agama benar? Itu tergantung pribadinya. Yang saya
yakini dengan sangat saat ini adalah agama saya ini yang benar, dan yang harus
saya lakukan adalah menjaga perasaan ini sampai akhir hayat. Beruntungnya lagi
saya tidak perlu mencari, karena saya diturunkan dari darah Islam dari kedua
orangtua, Alhamdulillah.
Semua agama mengajarkan yang baik, tinggal bagaimana manusia memilih dan saling respect.
Semua agama mengajarkan yang baik, tinggal bagaimana manusia memilih dan saling respect.
Bagaimana dengan Atheist? Tulisan ini kontroversial?!