wow wow oww, dua minggu yang lalu Teknik Industri
Universitas Dipnonegoro baru aja ngejalanin perjalanan panjang, salah satu
destinasinya ke kick Andy. tayang hari Jumat ini, 2 Maret 2012. Nonton ya. FYI, di pojok kanan bawah itu dosen saya, Ibu Aries Susanti. Sayang, foto saya ga
ada L
Kick Andy Studio |
Siapa yang tak kenal dengan Band Wali. Band yang
personilnya terdiri dari Farhan ZM (Faank) sebagai sebagai lead vocal, dengan gitarisnya Aan
Kurnia alias Apoy dan
Ihsan Bustomi alias Tomi sebagai
drummer, dan pemain keyboard Ovie Hamzah Shopi
– ini terkenal dengan lagu-lagunya yang mengusung musik pop dengan bumbu aroma
melayu. Di balik kesuksesan band yang terbentuk pada tahun 1999 ini, dilatar
belakangi oleh para personilnya yang berasal dari lulusan pesantren. Semua
anggota Band Wali adalah alumni dari berbagai pesantren di Indonesia. Maka
tidak ayal, pendidikan pesantren yang mereka emban kerap mempengaruhi musik dan
tingkah laku para personilnya. Bahkan kisah sukses hidup mereka dari santri
menjadi band terkenal kemudian difilmkan melalui sebuah film yang berjudul
“Baik-Baik Sayang”. Hingga kini Band Wali telah meraih berbagai penghargaan,
sejak album pertama mereka diluncurkan di tahun 2008 lalu.
Lahir dan besar di
lingkungan pondok pesantren, tidak menjadikan seseorang kyai bernama Hasanain Juaini ter-kooptasi
dengan lingkungan sekitarnya. Ayahnya almarhum adalah pendiri Pondok Pesantren
Nurul Haramain, pada tahun 1952 di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok.
Presantren yang pada awalnya dibangun dengan cara tradisional, oleh Hasanain
kemudian dikembangkan dengan cara yang lebih modern. Hasanain mampu merubah
paradigma nilai ke-agamaan yang kental dari balik tembok pondok pesantren,
menjadi lembaga pendidikan yang berbasis lingkungan dan teknologi. Jika
sebelumnya di tahun 1992, Pondok Pesantren Nurul Haramain hanya diperuntukkan
bagi kaum laki-laki, berpedoman amanat yang diberikan oleh sang ibunda, pada
tahun 2006 Hasanain membangun Pondok Pesantren Nurul Haramain Putri. Dalam mendidik
murid-muridnya, Hasanain mengaku tidak membeda-bedakan antara santri putra dan
putri. Selain sekitar 500 santri putra, saat ini jumlah semua santriwati
Madrasah Tsanawiyah (Mts) dan Madrasah Aliyah (Ma) sebanyak 554 orang. Hasanain
tak hanya melakukan sosialisasi dan advokasi tentang kesetaraan gender dan
pengembangan kreativitas, di pondok pesantrennya, ia juga mengajarkan tentang
sikap saling menghargai dalam perbedaan. Hasanain yang sejak 4 tahun lalu
dipercaya menjabat Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Di Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat, inipun menganggap kearifan terhadap lingkungan
sudah diatur dalam Al Quran. Dari dorongan itulah, Hasanain tergerak untuk
menyosialisasikan semangat cinta lingkungan, yang ia tularkan kepada santri dan
warga sekitar pesantren. Salah satu usahnya, untuk mengembalikan fungsi alam,
pada tahun 2003, ia membeli lahan tandus seluas 36 hektar dan di sulapnya
menjadi kawasan konservasi hutan yang ia namai Desa Madani. Tak heran, bila
penghargaan Ashoka International, ia dapatkan karena Hasanain telah membuat
terobosan inovasi dalam persoalan sosial, pluralisme dan perspektif gender di
pondok pesantren dan kehidupan Islam. Dan penghargaan Piagam Pelesatari
Lingkungan dari Bupati Lombok Barat karena konsistensinya terhadap kegiatan
konservasi hutan dan air di tahun berikutnya. Kini, setelah lebih dari 15 tahun
ia meneggakkan prinsip man jadda wa jadda, melalui pendidikan untuk para santri
dan santriwatinya, beberapa apresiasi pun ia dapatkan. Seperti Maarif Award tahun
2008, dan Ramon Magsaysay pada tahun 2011.
Menuangkan cerita
novel kedalam audio visual film tentu bukanlah hal yang mudah. Dalam menggarap
skenario film Negeri 5 Menara, M. Rino Sarjono dan Salman Aristo penulis
skenario sekaligus produser film Negeri 5 Menara melakukan riset dan konsultasi
mendalam dengan penulis novelnya, Ahmad Fuadi,
secara intens. Film ini mengambil lokasi syuting di Pondok Modern Darussalam
Gontor Jawa Timur, Sumatera Barat, Bandung, hingga London. Bahkan ijin dari
pihak Pondok Modern Gontor baru keluar setelah Affandi Abdul Rachman (Fandi),
sang sutradara - menggandeng Ahmad Fuadi untuk melakukan pendekatan dengan kyai
di Gontor. Syarat yang dilayangkan oleh pihak pondok itu hanya satu,
yaitu shooting harus
dilakukan selama bulan puasa, di mana para santri libur dan kembali ke
daerahnya masing-masing. Casting tidak
hanya dilakukan dalam pemilihan sutradara saja, tetapi juga pada pemeran
tokoh-tokoh dalam film ini. Ada sekitar 3000 orang yang ikut dalam casting terbuka yang
dilakukan di toko buku Gramedia dibeberapa kota besar di Indonesia selama tiga
bulan. Proses casting pemain
film ini memang dilakukan dengan secara serius. Seperti misalnya, Lulu Tobing
yang memerankan karakter Amak, ibunda dari Alif, pemeran utama dalam film ini. Lulu
di-casting sampai tiga kali.
Begitu pula dengan Ikang Fauzi yang memerankan Kyai Rais, dan beberapa aktris
dan aktor papan atas Indonesia. Tak hanya aktor dan aktris, pemain baru pun
juga dipilih dengan cermat. Ketika Fandi (sutradara) bertemu dengan pemeran
utama Alif, Gazza Zubizzaretha (Gazza) -
di Taman Ismail Marzuki. Walau dalam pertemuan pertama itu Affandi yakin bahwa
Gazza cocok memainkan peran Alif, namun ia tetap meminta Gazza untuk melakukan
proses casting. Meski telah
terjadi “director’s click”
saat pertama kali Fandi lihat, tetapi Gazza yang asal Medan tetap melakukan
proses casting dan
pelatihan bahasa Minang. Film Negeri 5 Menara ini dilengkapi dengan soundtrack film dengan
judul Man Jadda Wa Jada yang
digarap oleh musisi kawakan Indonesia, Yovie Widiyanto. Di bawah bendera
perusahaan rekamannya sendiri Yovie Widianto Music Factory (YWMF), Yovie
mempersiapkan kurang lebih 12 lagu, dengan single pertama
yang berjudul Man Jadda Wajada,
yang dibawakan oleh Yovie and
Nuno. Beberapa penyanyi ternama ikut mendukung dalam album ini. Tak
kalah seru, seluruh penonton Kick Andy yang hadir mendapat undangan gratis
untuk hadir dalam pemutaran film ini.