Sumber Gambar |
Konon katanya 3 September lalu PLN
mengalami gangguan sistem transmisi induk untuk di sekitar wilayah Jawa Tengah
dan Jogjakarta, kondisi ini berakibat terputusnya aliran listrik a.k.a mati
lampu di hampir 70% area Jawa Tengah dan Jogjakarta. Saat itu saya sedang
berada di suatu desa di sebuah kota di tengah Pulau Jawa: Pekalongan.
Momen langka ini dimanfaatkan teman
mengajak saya untuk berekreasi, sekedar mencari angin malam menjelajahi
Pekalongan. Tapi apa daya, tiga sendok makan obat cair sudah saya teguk senja
itu, saya tetap meng-iya-kan ajakannya sambil semaput merindukan kasur empuk. But
I still enjoy the moment, no electricity. A friend, a motorcycle, and billions
of stars. Sambil melewati persawahan dan disambut angin malam terus-menerus. Kemudian mual.
Momen ini mengingatkan kembali akan
kediaman tempat saya berhijrah yang seringkali mengalami pemadaman bergilir, namun
hampir setiap waktu kematiannya saya selalu berusaha menikmatinya. Hanya ditemani
sebatang lilin atau emergency lamp berukuran mungil dan teman. Tanpa laptop.
Tanpa handphone. Sunyi. Saya benar-benar menikmatinya. Benar-benar menikmati.
Benar-benar.
Beranjak ke beberapa tahun silam,
sebelum teknologi menjadi [seperti satu-satunya] alat yang tidak bisa dilepas
dari genggaman kehidupan umat manusia, rasa-rasanya hidup lebih indah. Semua
orang menikmati setiap moment hidupnya. Bagaimana tidak bisa menikmati, saat
berkumpul bersama rekan atau handai taulan, mereka benar-benar bercengkrama,
memahami percakapan satu sama lain tanpa dihalangi gadget canggih itu. Saat
dimana tidak ada facebook, twitter, path, dan instagram. Saat tidak semua yang
kita lakukan ter-publish kedalamnya.
Rindu saat di Sekolah Dasar, saya
mengirimi surat hasil tulisan tangan saya ke Sherina Munaf. Rindu saat guru
meminta kami yang ada di kelas untuk saling berkirim surat walaupun setiap hari
bertemu dan ternyata surat tersebut sampai lebih dari sebulan kemudian. Rindu
saat teman baru tiba-tiba akan berganti teman baru lagi di sekolahnya yang
lain, lalu kami saling mengirimi surat walaupun berada di satu kota yang sama.
Rindu mendengar kisah lain di saat teman bercerita ia mendapat sahabat pena
karna menerbangkan balon dengan surat didalamnya. Rindu saat hari lebaran
menjelang, saya dan ayah sibuk mengirimi kartu lebaran. Rindu saat saya dan dia
terpisahkan pulau lalu kami bertukar kata-kata. Rindu melihat diary dan surat
Ayah tentang ibu. Rindu tulisan tangan itu, seperti apa wujudnya mereka saat
ini? Calibri-kah? Arial-kah? Times New Roman-kah?
Ko saya jadi seperti seseorang yang
anti teknologi begini ya? Saya justru termasuk salah satu dari kalian yang
menggilai setiap keberadaannya. Tapi saya rindu akan waktu dimana saya dan
semua orang masih bisa hidup tentram, damai, dan bahagia tanpa teknologi. Saat
semua orang lebih menghargai kebersamaan.
Saat aku
dan manusia saja. Aku rindu.