Wednesday, February 29, 2012

Teknik Industri Undip on Kick Andy

,

wow wow oww, dua minggu yang lalu Teknik Industri Universitas Dipnonegoro baru aja ngejalanin perjalanan panjang, salah satu destinasinya ke kick Andy. tayang hari Jumat ini, 2 Maret 2012. Nonton ya. FYI, di pojok kanan bawah itu dosen saya, Ibu Aries Susanti. Sayang, foto saya ga ada L

kick andy
Kick Andy Studio

Siapa yang tak kenal dengan Band Wali. Band yang personilnya terdiri dari Farhan ZM (Faank) sebagai sebagai lead vocal, dengan gitarisnya Aan Kurnia alias Apoy  dan Ihsan Bustomi alias Tomi sebagai drummerdan pemain keyboard Ovie Hamzah Shopi – ini terkenal dengan lagu-lagunya yang mengusung musik pop dengan bumbu aroma melayu. Di balik kesuksesan band yang terbentuk pada tahun 1999 ini, dilatar belakangi oleh para personilnya yang berasal dari lulusan pesantren. Semua anggota Band Wali adalah alumni dari berbagai pesantren di Indonesia. Maka tidak ayal, pendidikan pesantren yang mereka emban kerap mempengaruhi musik dan tingkah laku para personilnya. Bahkan kisah sukses hidup mereka dari santri menjadi band terkenal kemudian difilmkan melalui sebuah film yang berjudul “Baik-Baik Sayang”. Hingga kini Band Wali telah meraih berbagai penghargaan, sejak album pertama mereka diluncurkan di tahun 2008 lalu.

Lahir dan besar di lingkungan pondok pesantren, tidak menjadikan seseorang kyai bernama Hasanain Juaini ter-kooptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ayahnya almarhum adalah pendiri Pondok Pesantren Nurul Haramain, pada tahun 1952 di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok. Presantren yang pada awalnya dibangun dengan cara tradisional, oleh Hasanain kemudian dikembangkan dengan cara yang lebih modern. Hasanain mampu merubah paradigma nilai ke-agamaan yang kental dari balik tembok pondok pesantren, menjadi lembaga pendidikan yang berbasis lingkungan dan teknologi. Jika sebelumnya di tahun 1992, Pondok Pesantren Nurul Haramain hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki, berpedoman amanat yang diberikan oleh sang ibunda, pada tahun 2006 Hasanain membangun Pondok Pesantren Nurul Haramain Putri. Dalam mendidik murid-muridnya, Hasanain mengaku tidak membeda-bedakan antara santri putra dan putri. Selain sekitar 500 santri putra, saat ini jumlah semua santriwati Madrasah Tsanawiyah (Mts) dan Madrasah Aliyah (Ma) sebanyak 554 orang. Hasanain tak hanya melakukan sosialisasi dan advokasi tentang kesetaraan gender dan pengembangan kreativitas, di pondok pesantrennya, ia juga mengajarkan tentang sikap saling menghargai dalam perbedaan. Hasanain yang sejak 4 tahun lalu dipercaya menjabat Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, inipun menganggap kearifan terhadap lingkungan sudah diatur dalam Al Quran. Dari dorongan itulah, Hasanain tergerak untuk menyosialisasikan semangat cinta lingkungan, yang ia tularkan kepada santri dan warga sekitar pesantren. Salah satu usahnya, untuk mengembalikan fungsi alam, pada tahun 2003, ia membeli lahan tandus seluas 36 hektar dan di sulapnya menjadi kawasan konservasi hutan yang ia namai Desa Madani. Tak heran, bila penghargaan Ashoka International, ia dapatkan karena Hasanain telah membuat terobosan inovasi dalam persoalan sosial, pluralisme dan perspektif gender di pondok pesantren dan kehidupan Islam. Dan penghargaan Piagam Pelesatari Lingkungan dari Bupati Lombok Barat karena konsistensinya terhadap kegiatan konservasi hutan dan air di tahun berikutnya. Kini, setelah lebih dari 15 tahun ia meneggakkan prinsip man jadda wa jadda, melalui pendidikan untuk para santri dan santriwatinya, beberapa apresiasi pun ia dapatkan. Seperti Maarif Award tahun 2008, dan Ramon Magsaysay pada tahun 2011.

Menuangkan cerita novel kedalam audio visual film tentu bukanlah hal yang mudah. Dalam menggarap skenario film Negeri 5 Menara, M. Rino Sarjono dan Salman Aristo penulis skenario sekaligus produser film Negeri 5 Menara melakukan riset dan konsultasi mendalam dengan penulis novelnya, Ahmad Fuadi, secara intens. Film ini mengambil lokasi syuting di Pondok Modern Darussalam Gontor Jawa Timur, Sumatera Barat, Bandung, hingga London. Bahkan ijin dari pihak Pondok Modern Gontor baru keluar setelah Affandi Abdul Rachman (Fandi), sang sutradara - menggandeng Ahmad Fuadi untuk melakukan pendekatan dengan kyai di Gontor. Syarat yang dilayangkan oleh pihak pondok itu hanya satu, yaitu shooting harus dilakukan selama bulan puasa, di mana para santri libur dan kembali ke daerahnya masing-masing. Casting tidak hanya dilakukan dalam pemilihan sutradara saja, tetapi juga pada pemeran tokoh-tokoh dalam film ini. Ada sekitar 3000 orang yang ikut dalam casting terbuka yang dilakukan di toko buku Gramedia dibeberapa kota besar di Indonesia selama tiga bulan. Proses casting pemain film ini memang dilakukan dengan secara serius. Seperti misalnya, Lulu Tobing yang memerankan karakter Amak, ibunda dari Alif, pemeran utama dalam film ini. Lulu di-casting sampai tiga kali. Begitu pula dengan Ikang Fauzi yang memerankan Kyai Rais, dan beberapa aktris dan aktor papan atas Indonesia. Tak hanya aktor dan aktris, pemain baru pun juga dipilih dengan cermat. Ketika Fandi (sutradara) bertemu dengan pemeran utama Alif, Gazza Zubizzaretha (Gazza) - di Taman Ismail Marzuki. Walau dalam pertemuan pertama itu Affandi yakin bahwa Gazza cocok memainkan peran Alif, namun ia tetap meminta Gazza untuk melakukan proses casting. Meski telah terjadi “director’s click” saat pertama kali Fandi lihat, tetapi Gazza yang asal Medan tetap melakukan proses casting dan pelatihan bahasa Minang. Film Negeri 5 Menara ini dilengkapi  dengan soundtrack film dengan judul Man Jadda Wa Jada yang digarap oleh musisi kawakan Indonesia, Yovie Widiyanto. Di bawah bendera perusahaan rekamannya sendiri Yovie Widianto Music Factory (YWMF), Yovie mempersiapkan kurang lebih 12 lagu, dengan single pertama yang berjudul Man Jadda Wajada, yang dibawakan oleh Yovie and Nuno. Beberapa penyanyi ternama ikut mendukung dalam album ini. Tak kalah seru, seluruh penonton Kick Andy yang hadir mendapat undangan gratis untuk hadir dalam pemutaran film ini.

Read more →

Friday, February 10, 2012

Apakah Anak-ku harus rangking 1?

,
Si Ranking 23 : “Aku ingin menjadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan”

Di kelasnya terdapat 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun ternyata anak kami  menerimanya dengan senang hati.

Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak kami rangking nomor 23 dan tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya begitu bersinar-sinar.

Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati kepada anak kami: “Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?” Anak kami menjawab: “Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian yang luar biasa”. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan bahwa kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.

Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sangat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK?
Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat semakin kurus. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku kondisinya semakin pucat saja.

Apalagi, setiap kali akan menghadapi ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi tekanan, dan membantunya tumbuh normal.

Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram damai kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek.

Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan berebut sebuah kue beras yang di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara yang sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.

Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing.

Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya.

Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.
Alasannya pun sangat beragam : antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris.

Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja.
Dia memberi pujian: “Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Dia pun pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.

Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga.

Dalam hatiku pun terasa hangat seketika.

Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.

Jika anakku besar nanti, dia pasti menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang gemar membantu, tetangga yang ramah dan baik.

Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas?

Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi?

Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

Anakmu bukan milikmu. Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri, Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau, Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu. Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri. Patut kau berikan rumah untuk raganya, Tapi tidak untuk jiwanya, Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi. Kau boleh berusaha menyerupai mereka, Namun jangan membuat mereka menyerupaimu Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, Pun tidak tenggelam di masa lampau. Kaulah busur, dan anak-anakmulahAnak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.

Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat. Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah, Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat. Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah, Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Khalil Gibran
 



Read more →