Friday, May 31, 2013

Ketika Memilih Turun ke Desa

,

kisah seseorang, semoga menginspirasi :)

Saya adalah lulusan dari institut teknik, tepatnya bidang planologi (perencanaan wilayah dan kota). Sama sekali bukan dari institut pertanian. Tapi entah kenapa saya tertarik dengan pembangunan wilayah desa dan pengembangan sektor-sektor ekonomi pertaniannya (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan). Bercerita sedikit saja tentang ranah kerja bidang planologi, saya sebagai lulusan planologi memiliki ranah kerja sebagai perencana; pembuat dokumen perencanaan wilayah, yang bekerja di ranah-ranah kepemerintahan (BAPPEDA), konsultan, kontraktor, pengembang, dan sejenisnya yang terkait bidang-bidang ke-sipilan dan pembangunan. Bidang ini memang menarik. Tapi entah kenapa hati saya malah tertuju pada pembangunan desa, tepatnya turut andil dalam pembangunan desa dengan segala macam sektor-sektor pertanian yang dimilikinya. Alasan fundamental saya sederhana, saya ingin berinvestasi untuk kehidupan singkat saya ini. Bukan masalah berapa banyak harta, tapi berapa banyak manfaat yang diberikan. Itulah modal terbesar yang ada di benak saya sebelum maut menjemput raga ini.

Berpindah dari alasan-alasan pribadi, saya berangkat menuju alasan yang lebih luas: NEGERI INDONESIA. Saya amat sangat tahu bahwa Negeri Indonesia ini kaya akan sumber daya alam, tepatnya yang terdapat pada kelautan dan pertaniannya. Bagaimana tidak, potensi melimpah ini ditunjukkan oleh keberadaan 17.480 pulau, serta memiliki panjang pantai yang mencapai lebih dari 95.000 km. Ditambah dengan kondisi iklimnya yang tropis negeri ini banyak melimpah potensi-potensi alam yang luar biasa berserakan. Sungguh luar biasa. Tapi, sayangnya saya hanya berhenti pada batas pengetahuan, tidak lebih. Ini memalukan. So, saya harus turun ikut campur! Gak boleh cemen!

Alhamdulillah kesempatan itu datang.

Akhirnya saya diberi kesempatan untuk membangun desa melalui program Indonesia Bangun Desa. Di dalam pelatihan, saya langsung turun ke lapangan. Diawali dari panen buah rosela. Saya berkesempatan menyeleksi dan memetik rosela, mengupas rosela, membersihkan rosela, dan menjemurnya. Kesan saya, ini menyenangkan. Kemudian saya berkesempatan untuk terjun ke sawah untuk bercocok tanam. Dengan menggunakan sistem “jajar legowo” saya pun belajar cara menanam bibit padi dengan baik. Wah, ini sulit. Hikmahnya, saya jadi lebih sadar untuk tidak membuang-buang nasi dengan semena-mena. Gak gampang bos, nanam padi itu. Loe harus tau. Selanjutnya saya diberi kesempatan untuk mengunjungi sebuah peternakan ayam broiler. Wah banyak banget yang harus dipersiapkan untuk beternak. Akhirnya saya tahu, ayam broiler ini adalah makhluk paling manja. Soalnya semua-muanya termasuk ‘selimut kehangatan’ dan musik pengiring harus disediakan oleh peternak; biar si ayam-ayam itu nyaman, tenteram dan sejahtera. Waduh! Hehe. Selanjutnya, yang paling ‘amazing’ adalah dunia perikanan. Dari bisnis plan sampai menguras kolam berlumpur saya lakukan. Tidak tanggung-tanggung, memindahkan ratusan (mungkin sudah mencapai ribuan) ikan itu ternyata tidak mudah. Tapi inilah bagian paling menyenangkan. Soalnya kita bisa main air plus ‘panen’ gratis ikan bawal. Kita makan-makan. Haha. Tapi bukan di situ poinnya. Pelajaran yang saya dapatkan adalah membangun bangsa itu tidak mudah. Butuh pengetahuan, pengalaman, dan niat yang lurus serta tulus dalam menjalani proses demi prosesnya. Pekerjaan Rumah untuk membangun negeri melalui desa ini akan penuh dengan liku, onak dan duri. Dan saya harus tetap belajar.

Never Ending Learning

Bogor, 30 Mei 2013

Oddie Aulia Zulha


Read more →

Tuesday, May 28, 2013

Soe Hok Gie: Sebuah Renungan

,

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini. Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya.

Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.
Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.
Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu saya sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata “Ah, mama tidak mengerti”.
Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju – mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si …, saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya dalam tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”.
Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.
Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.
Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: “Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu”. Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.
Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab “Tidak. Mengapa?” Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, “untuk siapa peti mati ini?” Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. “Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?” Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia meninggal”.
Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”. Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?
Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?
Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.
Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik “Gie, kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.
Arief Budiman (Soe Hok Djin), kakak kandung Soe Hok Gie
Tulisan pengantar pada buku Catatan Seorang Demonstran.

sumber 
Read more →

Tuesday, May 21, 2013

Tanya Kapan?

,





Kapan menanyakan waktu. Kapan yang entah apa itu bahkan terkadang kita belum bisa menyebutkan tepatnya kapan. Kapan bisa menjadi artikulasi kata yang menarik bila penempatannya benar. Tentu kapan yang sudah menunjukkan kepastian kapan terlaksana. Kapan juga banyak membuat orang-orang mendadak sensitive. Kapan yang tidak tepat dalam penyampaian sebuah kalimat. Hati-hati berkata kapan pada orang-orang tertentu, seperti saya ini.


Kapan-kapan lainnya akan terus terlontar, tinggal bagaimana menyikapinya. Saya sudah mulai terbiasa mendengar berbagai macam kata kapan. Dalam durasi waktu 24 jam ini, melalui selftalk, saya bertanya kapan saya akan bangun hingga berujung pertanyaan kapan saya nikah. Tidak tidak! Saya tidak menekankan untuk pertanyaan terakhir tadi, antara pertanyaan kapan bangun dan kapan nikah itulah saya berada. Kalau tidak ingat untuk apa saya ada di posisi ini sejauh ini pula, sudah habis saya dimakan kapan [waktu]. Saya tidak bisa menyebutkan secara spesifik kapan itu terjadi, tapi target harus tetap di raih. Apa jadinya manusia hidup gak punya target. Cuma jadi seonggok daging berjalan yang siap disembelih. Dan pertanyaan kapan itulah yang bisa jadi motivasi target cepat tercapai, supaya kata kapan tersebut berlanjut menjadi kapan-kapan lainnya.


Apalagi melihat orang-orang di sekitar sudah mencapai titik kapannya, tinggal berganti kapan yang lain. Saya ingin orang-orang mengganti kapan, atau paling tidak membuat sedikit variasi dengan kata kapan tersebut. Hati-hati berkata kapan, kalau bisa jangan dengan pertanyaan kapan, buatlah pernyataan dari kapan, yang menyenangkan.

Kapan lulus?


Read more →

Saturday, May 18, 2013

Menulis Memanjangkan Umur

,

Kunjungan teman kampus ke kos untuk sekedar bercerita mengenai blog yang saya dan dia buat – dentista – yang ternyata template blognya sama, membuka mata hati tangan-tangan saya untuk bergerak, menulis lagi.


Berawal dari pembicaraan kita mengenai kisah kecelakaan bis mahasiswa FK Undip tempo lalu, yang ternyata salah satu dari kedua korban memiliki hobi nge-blog, dan sebelum meninggal ia menulis tentang kematian yang judulnya Dosen Tak Bernyawa. Terbayang apa yang saya lakukan sebelum ini adalah membaca tulisan seorang anak yang telah meninggal. Saya membaca selah-olah si penulis masih hidup. Get what I mean?


Semoga kutipan dari Pramoedya AnantaToer dapat membantu menjelaskan.

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Rumah Kaca, h. 352)”


Saya rasa hampir semua orang hebat menulis, banyak orang terkenal lewat jurnal ilmiah, buku, blog, bahkan twitter. Medianya sudah menjamur, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Rhenald Kasali misalnya, ia ekonom, penulis buku dan jurnal mengenai ekonomi, pengisi website rumah perubahan, membuat blog di facebook, dan berkultwit ria di twitter. Paket lengkap. Atau Soe Hok Gie, mahasiswa yang melakukan pemberontakan melalui tulisannya di media cetak saat itu,   buku mengenai catatan seorang demonstran dibukukan setelah lama ia meninggal, artinya keberadaan Gie masih saja diakui sepeninggalannya. Terakhir, sebut saja pujangga Yunani Socrates, Plato, dan Aristoteles tiga orang filsuf guru-murid turun temurun, sudah berapa ratus tahun yang lalu mereka meninggal? Karyanya masih saja melegenda dan dibaca banyak orang.

Dan menulis bisa jadi sebuah panggilan hati atau hobi, tapi kalo saya? Saya lebih ke arah membiasakan diri untuk menulis karena [jujur] saya tidak ingin mati tenggelam oleh jaman. Lagipula menulis juga salah satu wujud untuk melatih otak, otak kiri akan mengasah kemampuan analisis dan rasional atas apa yang kita tulis, sedangkan otak kanan memberikan imajinasinya. Dengan menulis, semua daya otak terpakai. More info.

Saya pernah men-share bagaimana kondisi bangsa Indonesia dalam hal penerbitan buku disini. Sesungguhnya seberapa banyak buku yang diterbitkan suatu bangsa mencerminkan kualitas suatu bangsa. Kita masih kalah dari Malaysia dan Vietnam, miris kan? Saya pun belum menulis buku, belum terpikirkan untuk menulis buku malahan, menulis blog seperti ini saja sudah membuat otak saya bekerja jauh dari biasanya. Entah ada yang baca atau gak, saya selalu puas setiap setiap menyelesaikan satu postingan. Gak ada salahnya kan kalo kita memulai menulis dari yang kecil-kecil seperti ini.

Salam go-blog!
Read more →

Tuesday, May 14, 2013

Karena ucapan adalah doa

,

Akhirnya saya menyelesaikan asistensi perdana skripsi dengan indah, not bad. Sambil berlalu, saya teringat akan kisah di salah satu film India, ingat saya bukan pecinta film India yang suka nari-nari di tiang, film ini bernama Taare Zameen Par, kisah klasik dunia pendidikan yang keras. Saya tidak akan membicarakan masalah pendidikan formalnya, tapi pendidikan batin.

Pikiran saya terbawa pada suatu dialog seorang guru yang sedang menasehati wali murid seorang anak penderita disleksia, mengenai Pulau Solomon yang berada di timur Papua Nugini. Konon katanya untuk mendapatkan lahan bercocok tanam, penduduk Pulau Solomon tidak perlu menebang atau membakar pohon yang ada disana, mereka cukup membuat perkataan kasar dan jorok ke pohon-pohon yang ada. Alhasil, pohon menjadi kering, mati lalu tumbang. Yah, semudah itu.

Pohon di Pulau Solomon bisa saja dianalogikan sebagai seorang anak yang mendapat perlakuan kasar dari orang-orang sekitar, mereka bisa saja tumbang sewaktu-waktu karena seringkali terucap kata-kata bodoh, ceroboh, malas, dll. Itu semua bisa jadi pembunuhan karakter! Seperti apapun kondisi seorang anak, jangan sampai kata-kata pembunuh itu keluar, bersikaplah baik dengan kata-kata yang baik pula, karena anak tumbuh berdasarkan lingkungannya.

Sama halnya dengan cerita air, Masaru Emoto meneliti dan menuliskan dalam bukunya Miracle of Water dampak kata-kata yang diimplikasikan ke air beserta foto-foto perubahan struktur molekulnya berdasarkan kata-kata yang diucapkan.  Jika kita mengcapkan kata cantik, pinter, baik, cinta, hebat, dll air akan berkontraksi membentuk molekul kristal nan indah. Sebaliknya, jika yang terucap adalah kata-kata buruk, air akan berubah tidak berbentuk.

Struktur Molekul Air Berubah Saat Diucapkan Kata-Kata
sumber

Hubungan antara ucapan yang baik dan pernyataan bahwa 80% tubuh manusia terdiri dari air dapat diterjemahkan bahwa alangkah indahnya jika kita bersugesti dengan kata-kata positif pada diri kita. Dan secara tidak langsung, ini semua mengajarkan pada kita untuk berinteraksi secara baik-baik terhadap orang lain.

Karena ucapan adalah doa.
Salam super.
Read more →

Sunday, May 12, 2013

From the Darkness to the Lightness

,




Saya belajar bersyukur dari kaum disibilitas, terutama mereka yang punya semangat melampaui orang-orang dengan kesempurnaan fisik. Sabtu (11/5) kemaren saya bersama seorang teman berkunjung ke Sahabat Mata. Sebuah komunitas yang dimotori seorang tunanetra, yang sudah sejak lama menderita kebutaan, Pak Basuki namanya. Pak Basuki sendiri mengalami kebutaan di tahun 2004 karena ablasio retina yaitu lepasnya saraf retina dan memang sejak dulu minus di mata Pak Basuki sudah besar, hingga minus 11. Di masa-masa kegelapannya itu, beliau merasa sangat terpuruk dan hanya suara-suara yang menemani, terutama radio. Berawal dari histori inilah, akhirnya Pak Basuki mendirikan sebuah stasiun radio SAMA FM dengan frekuensi yang hanya dapat dijangkau se-kecamatan Mijen [107.4 MHz], announcer-nya juga seorang tunanetra. Namun, selain ketenarannya akan radio, apa saja yang dilakukan Pak Basuki sehingga ia terlihat semakin waw, bahkan pernah masuk di Kick Andy?

Beberapa yang beliau ingat adalah membuat Al Quran braille dan melakukan pelatihan ke teman-teman tuna netra lainnya, melakukan pelatihan audio-editting, melakukan pengecekan mata ke anak-anak sekolah dasar, membuat drama khusus tuna netra dalam rangka penggalangan dana kacamata gratis, dan menjadi event organizer di seminar nasionar “meretas keterbatasan” sekaligus lomba debat tuna netra. Ketika saya bercerita saya pernah kuliah di pertanian, beliau sanga excited dan menceritakan bahwa ia ingin sekali menggagas pertanian untuk tunanetra [agropreneur], pertanian berbasis hidroponik. Tidak hanya mengadakan pelatihan pertanian saja, tapi juga ada pasar yang siap menerima agar pelatihannya tidak sia-sia. Semoga saja bisa terlaksana dalam waktu dekat.

Disini Pak Basuki mencoba membaur dan membangun kesetaraan dengan masyarakat. Kalimat beliau yang masih terngiang di telinga saya adalah “Tuna netra diterima di masyarakat mungkin karena ketunanetraannya. Tapi itu tidak akan bertahan, karena lama-lama masyarakat akan bosan. Harus menjadi manfaat untuk bisa diterima.”

Adakah tergerak melihat ini semua sebagai peluang untuk beramal sholeh?! :)




Read more →