Friday, September 6, 2013

Hidup Tanpa Teknologi

,
Sumber Gambar

Konon katanya 3 September lalu PLN mengalami gangguan sistem transmisi induk untuk di sekitar wilayah Jawa Tengah dan Jogjakarta, kondisi ini berakibat terputusnya aliran listrik a.k.a mati lampu di hampir 70% area Jawa Tengah dan Jogjakarta. Saat itu saya sedang berada di suatu desa di sebuah kota di tengah Pulau Jawa: Pekalongan.

Momen langka ini dimanfaatkan teman mengajak saya untuk berekreasi, sekedar mencari angin malam menjelajahi Pekalongan. Tapi apa daya, tiga sendok makan obat cair sudah saya teguk senja itu, saya tetap meng-iya-kan ajakannya sambil semaput merindukan kasur empuk. But I still enjoy the moment, no electricity. A friend, a motorcycle, and billions of stars. Sambil melewati persawahan dan disambut angin malam terus-menerus. Kemudian mual.

Momen ini mengingatkan kembali akan kediaman tempat saya berhijrah yang seringkali mengalami pemadaman bergilir, namun hampir setiap waktu kematiannya saya selalu berusaha menikmatinya. Hanya ditemani sebatang lilin atau emergency lamp berukuran mungil dan teman. Tanpa laptop. Tanpa handphone. Sunyi. Saya benar-benar menikmatinya. Benar-benar menikmati. Benar-benar.

Beranjak ke beberapa tahun silam, sebelum teknologi menjadi [seperti satu-satunya] alat yang tidak bisa dilepas dari genggaman kehidupan umat manusia, rasa-rasanya hidup lebih indah. Semua orang menikmati setiap moment hidupnya. Bagaimana tidak bisa menikmati, saat berkumpul bersama rekan atau handai taulan, mereka benar-benar bercengkrama, memahami percakapan satu sama lain tanpa dihalangi gadget canggih itu. Saat dimana tidak ada facebook, twitter, path, dan instagram. Saat tidak semua yang kita lakukan ter-publish kedalamnya.

Rindu saat di Sekolah Dasar, saya mengirimi surat hasil tulisan tangan saya ke Sherina Munaf. Rindu saat guru meminta kami yang ada di kelas untuk saling berkirim surat walaupun setiap hari bertemu dan ternyata surat tersebut sampai lebih dari sebulan kemudian. Rindu saat teman baru tiba-tiba akan berganti teman baru lagi di sekolahnya yang lain, lalu kami saling mengirimi surat walaupun berada di satu kota yang sama. Rindu mendengar kisah lain di saat teman bercerita ia mendapat sahabat pena karna menerbangkan balon dengan surat didalamnya. Rindu saat hari lebaran menjelang, saya dan ayah sibuk mengirimi kartu lebaran. Rindu saat saya dan dia terpisahkan pulau lalu kami bertukar kata-kata. Rindu melihat diary dan surat Ayah tentang ibu. Rindu tulisan tangan itu, seperti apa wujudnya mereka saat ini? Calibri-kah? Arial-kah? Times New Roman-kah?

Ko saya jadi seperti seseorang yang anti teknologi begini ya? Saya justru termasuk salah satu dari kalian yang menggilai setiap keberadaannya. Tapi saya rindu akan waktu dimana saya dan semua orang masih bisa hidup tentram, damai, dan bahagia tanpa teknologi. Saat semua orang lebih menghargai kebersamaan.


Saat aku dan manusia saja. Aku rindu.

0 comments to “Hidup Tanpa Teknologi”